Competitive, implikasinya hanya produksi dengan biaya murah dan kualitas baik yang mampu bertahan. Hukum the survival or the fittest pasti berlaku, negara yang mampu dan bertahan dalam kompetisi serta memiliki struktur ekonomi kuat akan menang. Membahas tentang pergeseran paradigma dari comparative advantage ke competitive advantage menjadi hal yang menarik untuk dikaji tanpa mengurangi arti pentingnya teori-teori perdagangan lainnya.
Keunggulan Komparatif
Comparative advantage telah menjadi paradigma sejak adanya teori perdagangan oleh Ricardo yang tumbuh subur dalam menganalisa dan implementasi kebijakan ekonomi . Teori ini meganjurkan bahwa suatu negara sebaiknya melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang memiliki keunggulan komparatif, sebaliknya jangan memproduksi atau mengekspor komoditi yang memiliki comparative disadvantage.
Heckscher-Ohlim menyatakan bahwa keunggulan komparatif disebabkan adanya anugerah faktor (fakctor endowment) yang dimiliki oelh suatu negara, seperti jumlah tenaga kerja yang melimpah, iklim, struktur tanah, sumber daya alam yang bersifat ekstraktif seperti minyak bumi, hasil hutan, tambang dan sebagainya. Negara cenderung mengekspor barang-barang yang produksinya secara intensif menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah. Melalui ini 2 pihak atau negara sama sama untung (win-win game) jika mereka berdagang atas dasar keunggulan komparatif. Keuntungan ini dalam literatur disebut gain from trade.
Disadari atau tidak teori ini benyak mengilhami negara-negara berkembang berlomba-lomba untuk memberdayakan faktor endowment yang dimilikinya. Korean mengekspor labor intensive goods, Amerika mengekspor skilled labor intensive goods, seperti mobil dan televisi, Swedia berspesialisasi pada produksi yang berkadar fosfor rendah, negara negara Arab mengekploitasi ladang-ladang minyaknya, sementara itu India dan Cina memberdayakan penduduknya sebagai sumber input industri.
Semua yang dilakukan negara-negara tersebut merupakan upaya mengejar keunggulan komparatif dari anugerah alam yang dimilikinya. Mereka percaya spesialisasi dan konsentrasi pada produksi akan dilakukan pula oleh negara-negara lain yang pada akhirnya masing masing negara memperoleh manfaat (gain from trade). Spesialisasi produksi ini dalam periode waktu tertentu, menempatkan negara dalam posisi monopolis dan memperoleh keuntungan berlebih (excess profit). Keuntungan ini cenderung menimbulkan incentive problems untuk melakukan inovasi. Keengannan melakukan inovasi akan semakin tinggi ketika prmintaan terhadap komoditi ekspor unggulan bersifat inelastic terhadap perubahan harga. Artinya persentase penurunan harga sebagai akibat dari penemuan teknik-teknik baru adalah lebih besar dari persentase perubahan kuantitas, sehingga excess profit menurun. Dalam posisi demikian, do nothing lebih menguntungkan daripada inovasi teknologi.
Menurut Prebish (1949) jauh jauh telah mewaspadai kemungkinan kegagalan teori keunggulan komparatif. khususnya jika dianut oleh negara- negara berkembang yang kebanyakan adalah negara agraris. Kenyataan menunjukkan bahwa spesialisasi justru tidak menguntungkan negara-negara berkembang, padahal dalam perspektif Ricardo, kedua belah pihak yang berdagang atas dasar spesialisasi sama-sama untung.
Teori teori baik oleh Ricardo maupun Ohlin – Heckscher memang logis dan bermanfaat untuk menjelaskan mengapa perbedaan relatif dalam produktifitas pekerja dan karunia alam (endowment) menyebabkan terjadinya spesialisasi produksi darn perdagangan antarbangsa. Akan tetapi teori ini tidak handal dalam menjelaskan pola perdagangan yang tejadi dewasa ijni, yang dicirikan oleh pola perdagangan di antara sesama negara industri yang pada umumnya memiliki fakctor endowment sama dan berbasis teknoli. Maka tak dapat dihindari lai kemampuan internal dari teori ini kian lemah.
Sungguhpun demikian yang perlu diingat bahwa para pemikir ekonomi dahulu mapun sekarang tidak lepas dari situasi ekonomi yang mereka hadapi. Mereka mengeluarkan pandangan-pandangannya dalam rangka mengannggapi masalah masalah yang dihadapi pada saat iitu oelh negara masing-masing yang mengalami.Sehingga dalam kasus kasus tertentu panangan-pandangan menjadi tidak netral, artinya pekerjaan dan kedudukan mereka dalam sistem politik ikut mempengaruhi juga.
Keunggulan Kompetitif
Permasalahan yang muncul sehubungan dengan terori perdagangan internasionl berkisar pada pertanyaan; apakah negara akan selalu mengimpor produk yang memiliki comparative advantage?apakah keunggulan komparatif bersifat statis dan tidak dapat disptakan?Bagaimana melestarikan (sustain) keunggulan komparatif? Dan pertanyaan-pertanya sentimen ini tidak dijelaskan dalam teori keunggulan komparatif.
Porter(1990) melihat teori keunggulan komparatif tidak mampu menjelaskan fonemena prdagangan internasional. Menurut Porter pola perdagangan menunjukkan peran faktor cost dan factor endowment yang cukup berati. Ini disebabkan technological cahnage, comparable factor endowment dan globalization.
Perubahan teknologi mereduksi peran ekspor produk yang naturally recourc-based input. Swedia tidak lagi memiliki keunggulan komparatif dalam produksi baja, sebab teknologi pemurnian bijih besi sudah dikuasai oleh Korean. Adanya factor endowment yang comparable menyebabkan Amerika tidak lagi menguasai produk highly skilled seperti industri telekomunikasi, konstruksi jalan karena posisi ini telah diambil alih oleh Jepang dan Korea, yang keduanya terkenal memiliki highly disciplined workers.Gejala globalisasi mengurangi derajat kelangkaan (scarcity) faktor-faktor produksi. Perdagangan dalam kerangka foreign direct investment yang dilakukan oleh industri mobil Jepang dan Korea nampaknya dapat dijadikan contoh upaya memecahkan masalah kelangkaan.
Ketiga faktor diatas memungkinkan negara atau industri mengejar ketertinggalannya.Pola perdagangan yang diamati Porter menggambarkan upaya negara mengejar untuk merih competitive advantage daripada mempertahankan comparative advantage. Dengan kata lain paradigma baru dalam konstelasi perdagangan dunia menjadi competitive advantage.
Meier (1995) meratifikasi teori keunggulan kompetitif dengan menyebutnya sebagai dynamic comparative advantage. Ia melihat ada dinamika dalam teori keunggulan komparatif Ricardo. Negara yang memiliki keunggulan komparati dalam suatu industri harus terus menerus menciptakan produk-produk baru serta meningkakan mutu produk. Setelah negara melakukan inovasi untuk menemukan teknologi baru dan menghasilkan produk berteknologi baru, ia menempati posisi monopolis dalam penguasaan teknologi dan mudah mengakses pasar. Sehingga dalam perdagangan ia menikmati gain from trade.
Meskipun demikian penguasaan teknologi ini hanya bersifat sementara saja. setelah produk ekspor distandarisasi yang dihadapi negara pengimpor adalah technological gap dan memperkecil lag, dan keunggulan komparatif diperoleh. Pada tahap ini terjadi kompetisi anntara dua negara atau lebih yang memiliki keunggulan komparatif relatif hampir sama. Pilihan hasil dari “permainan: ini adalah menang atau kalah (win or lose). Negara mula-mula mengekspor dimungkinkan berbalik menjadi pengimpor apabila pasar dalam negeri sudah jenuh (saturation) dan harga input meningkat, sehingga kebijakan economic of scale atau meningkatkan kuatitas menjadi tidak menarikJika lebih dari satu negara berhasil meraih (cathing up) keunggulan komparatif, untuk selanjutnya persoalannya bukan lagi keunggulan komparatif melainkan keunggulan kompetitif. Meier melihat bahwa motiif perdagangan yang diartikulasikan bukan lagi gain from trade tetapi from growth.
Fenomena perdagangan ini dapat dijelaskan dengan apa yang disebut product life cycle, yaitu siklus yang disebabkan perkembangan teknologi serta skill. Siklus ini menjelaskan bagaimana keunggulan komparatif suatu komoditi yang mula mula diproduksi suatu negara maju ditransmisikan kepada negara berkembang melalui perdagangan. Proses ini diilustrasukan misalnya, suatu negara pada mulanya melakukan inovasi teknologi sehingga ia memiliki posisi monopolis dalam komoditi tersebut. Dan pada suatu titik tertentu negara itu menjadi satu-satunya negara pengeskpor komoditi hasil inovasinya itu. Tetapi pada satu periode atau titik berikutnya negara tersebut secara perlahan kehilangan keunggulan komparatifnya karena distandarisasi oleh negara lain dan negara lain telah mampu meniru atau membuat produk subtansinya. akhirnya pada titik dan periode berikutnya negara itu menjadi pengimpor komoditi yang menjadi unggulan inovasinya pada saat pertama.
Pesan yang dapat ditangkap dari competitive advantage paradigm adalah, interaksi yang terjadi dalam perdagangan internasional akan menimbulkan reaksi dari negara atau industri lain. Pesan kedua adalah negara atau industri harus mewaspadai bahwa keunggulan komparatif dapat dikejar dan ditiru, sebaliknya ia dapat mangejar (cath up) dan meniru (imitate) keunggulan komparatif yang dimiliki negara lain.
Persoalan yang kemudian timbul adalah, bagaimana negara melestarikan keunggulan komparatif sehingga ia menjadi sustainable competitive advantage. Persoalan ini dapat dilihat dari lima faktor yang mempengaruhi ijndustri dan harus diwaspadai agar mencapai competitive advantage. Lima faktor tersebut adalah, Threat of new Entrans, Bergaining power of Supplier, Rivalryamong Existing Competitors, Bargaining Power of Buyers serta Treath of Subtitute Products.
kesimpulan dari tulisan ini adalah, bahwa strategy economics of scope jauh lebih penting daripada economisc of scale. Strategi pertama mengisyaratkan diversifikasi produk melalui inovasi teknologi untuk menghasilkan produk berbeda dan menciptakan pasar baru. Sedangkan strategi kedua mensyaratkan peningkatan skala atau kuantitas produk sama untuk memperbesarpangsa pasar.